Selasa, 25 November 2008

Bertamu Dengan Cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih

Saling berkunjung dan bertamu di antara kita adalah hal yang biasa terjadi. Baik bertamu di antara sanak famili, dengan tetangga, atau teman sebaya yang tinggal di kos. Namun, banyak di antara kita yang melupakan atau belum mengetahui adab-adab dalam bertamu, dimana syari’at Islam yang lengkap telah memiliki tuntunan tersendiri dalam hal ini. Nah, alangkah indahnya jika setiap yang kita lakukan kita niatkan ibadah kepada Allah ta’ala dan ittiba’ pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam hal adab bertamu ini.


1. Minta Izin Maksimal Tiga Kali

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita, bahwa batasan untuk meminta izin untuk bertamu adalah tiga kali. Sebagaimana dalam sabdanya,

عن أبى موسى الاشعريّ رضي الله عمه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلم: الاستئذانُ ثلاثٌ، فان أذن لك و الاّ فارجع

Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu’anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!’” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Mengucapkan Salam & Minta Izin Masuk

Terkadang seseorang bertamu dengan memanggil-manggil nama yang hendak ditemui atau dengan kata-kata sekedarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, hendaknya seseorang ketika bertamu memberikan salam dan meminta izin untuk masuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nuur [24]: 27)

Sebagaimana juga terdapat dalam hadits dari Kildah ibn al-Hambal radhiallahu’anhu, ia berkata,

“Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku masuk ke rumahnya tanpa mengucap salam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keluar dan ulangi lagi dengan mengucapkan ‘assalamu’alaikum’, boleh aku masuk?’” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi berkata: Hadits Hasan)

Dalam hal ini (memberi salam dan minta izin), sesuai dengan poin pertama, maka batasannya adalah tiga kali. Maksudnya adalah, jika kita telah memberi salam tiga kali namun tidak ada jawaban atau tidak diizinkan, maka itu berarti kita harus menunda kunjungan kita kali itu. Adapun ketika salam kita telah dijawab, bukan berarti kita dapat membuka pintu kemudian masuk begitu saja atau jika pintu telah terbuka, bukan berarti kita dapat langsung masuk. Mintalah izin untuk masuk dan tunggulah izin dari sang pemilik rumah untuk memasuki rumahnya. Hal ini disebabkan, sangat dimungkinkan jika seseorang langsung masuk, maka ‘aib atau hal yang tidak diinginkan untuk dilihat belum sempat ditutupi oleh sang pemilik rumah. Sebagaimana diriwayatkan dari Sahal ibn Sa’ad radhiallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِنّما جُعل الاستئذان من أجل البصر

“Sesungguhnya disyari’atkan minta izin adalah karena untuk menjaga pandangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Ketukan Yang Tidak Mengganggu

Sering kali ketukan yang diberikan seorang tamu berlebihan sehingga mengganggu pemilik rumah. Baik karena kerasnya atau cara mengetuknya. Maka, hendaknya ketukan itu adalah ketukan yang sekedarnya dan bukan ketukan yang mengganggu seperti ketukan keras yang mungkin mengagetkan atau sengaja ditujukan untuk membangunkan pemilik rumah. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu,

إن أبواب النبي صلى الله عليه وسلم كانت تقرع بالأظافير

“Kami di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetuk pintu dengan kuku-kuku.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod bab Mengetuk Pintu)

4. Posisi Berdiri Tidak Menghadap Pintu Masuk

Hendaknya posisi berdiri tamu tidak di depan pintu dan menghadap ke dalam ruangan. Poin ini juga berkaitan hak sang pemilik rumah untuk mempersiapkan dirinya dan rumahnya dalam menerima tamu. Sehingga dalam posisi demikian, apa yang ada di dalam rumah tidak langsung terlihat oleh tamu sebelum diizinkan oleh pemilik rumah. Sebagaimana amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Bisyr ia berkata,

كان رسول الله إذا أتى باب قوم لم يستقبل الباب من تلقاء و جهه و لكن ركنها الأيمن أو الأيسر و يقول السلام عليكم السلام عليكم

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya di depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan assalamu’alaikum… assalamu’alaikum…” (HR. Abu Dawud, shohih - lihat majalah Al-Furqon)

5. Tidak Mengintip

Mengintip ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya,

لو أنّ امرأ اطلع عليك بغير إذن فخذفته بحصاة ففقأت عينه لم يكن عليك جناح

“Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِك أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ بَعْضِ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَخْتِلُ الرَّجُلَ لِيَطْعُنَهُ

“Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip sebagian kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu nabi berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang ntuk menusuk orang itu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)

6. Pulang Kembali Jika Disuruh Pulang

Kita harus menunda kunjungan atau dengan kata lain pulang kembali ketika setelah tiga kali salam tidak di jawab atau pemilik rumah menyuruh kita untuk pulang kembali. Sehingga jika seorang tamu disuruh pulang, hendaknya ia tidak tersinggung atau merasa dilecehkan karena hal ini termasuk adab yang penuh hikmah dalam syari’at Islam. Di antara hikmahnya adalah hal ini demi menjaga hak-hak pemilik rumah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لو أنّ امرأ اطلع عليك بغير إذن، فخَذّفْتَه بخَصاة ففَقأت عينه لم يكن عليك جناح

“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nuur [24]: 28)

Makna ayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, “Mengapa demikian? Karena meminta izin sebelum masuk rumah itu berkenaan dengan penggunaan hak orang lain. Oleh karena itu, tuan rumah berhak menerima atau menolak tamu.” Syaikh Abdur Rahman bin Nasir As Sa’di dalam Tafsir Al Karimur Rahman menambahkan, “Jika kamu di suruh kembali, maka kembalilah. Jangan memaksa ingin masuk, dan jangan marah. Karena tuan rumah bukan menolak hak yang wajib bagimu wahai tamu, tetapi dia ingin berbuat kebaikan. Terserah dia, karena itu haknya mengizinkan masuk atau tidak. Jangan ada perasaan dan tuduhan bahwa tuan rumah ini angkuh dan sombong sekali.” Oleh karena itu, kelanjutan makna ayat “Kembali itu lebih bersih bagimu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Artinya supaya hendaknya seorang tamu tidak berburuk sangka atau sakit hati kepada tuan rumah jika tidak diizinkan masuk, karena Allah-lah yang Maha Tahu kemaslahatan hamba-Nya. (Majalah Al Furqon).

7. Menjawab Dengan Nama Jelas Jika Pemilik Rumah Bertanya “Siapa?”

Terkadang pemilik rumah ingin mengetahui dari dalam rumah siapakah tamu yang datang sehingga bertanya, “Siapa?” Maka hendaknya seorang tamu tidak menjawab dengan “saya” atau “aku” atau yang semacamnya, tetapi sebutkan nama dengan jelas. Sebagaimana terdapat dalam riwayat dari Jabir radhiallahu’anhu, dia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَى أَبِي فَدَقَقْتُ الْبَابَ فَقَالَ مَنْ ذَا فَقُلْتُ أَنَا فَقَالَ أَنَا أَنَا كَأَنَّهُ كَرِهَهَا

“Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengetuk pintu, lalu beliau bertanya, ‘Siapa?’ Maka Aku menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bertanya, ‘Saya, saya?’ Sepertinya beliau tidak suka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah beberapa poin yang perlu kita perhatikan agar apa yang kita lakukan ketika bertamu pun sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengetahui adab-adab yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga membuat kita lebih lapang kepada saudara kita sebagai tuan rumah ketika ia menjalankan apa yang menjadi haknya sebagai pemilik rumah. Wallahu a’lam.

Maraji’:

  1. Majalah Al Furqon edisi 2 Tahun II 1423 H
  2. Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 2. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003
  3. Adabul Mufrod. Imam Bukhari. Maktabah Syamilah

***

Artikel www.muslimah.or.id

Kisah Mahar Paling Mulia

Kisah Mahar Paling Mulia


Penyusun: Ummu Ishaq

Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.

Siapakah Ummu Sulaim ?

Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.

Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???

Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)

Demikianlah saudariku muslimah…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.

Maraji:

  1. Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z” (Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq),
  2. Wanita-wanita Teladan Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)

***

Artikel www.muslimah.or.id

Marilah Beramal Saleh di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan beramal di 10 hari pertama bulan Dzulhijah.

Ibnu Rojab dalam Latho’if Ma’arif mengatakan, “Amalan yang kurang afdhol jika dikerjakan di waktu yang utama (seperti bulan Dzulhijah, pen), lalu dibandingkan dengan amalan yang afdhol yang dikerjakan di bulan lainnya, maka amalan yang dikerjakan di waktu yang utama akan lebih unggul karena pahala dan ganjaran yang dilipatgandakan.” Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun, ada pula yang mengatakan sama dengan dua tahun, bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada hadits fadho’il yang lemah (dho’if), namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shahih yang ada.

Lalu Apa Amalan yang Dapat Kita Lakukan Pada Awal Dzulhijah?

Amalan yang dapat dilakukan adalah berpuasa. Berdasarkan perkataan Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Namun ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa di hari-hari tersebut sama sekali. Ibnu Rojab menukil perkataan Imam Ahmad dalam menggabungkan dua perkataan ini dengan mengatakan, “Yang dimaksudkan ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa secara sempurna pada awal Dzulhijah. Sedangkan yang dimaksudkan Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada mayoritas hari-hari yang ada. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang berpuasa pada sebagian hari dan berbuka pada sebagian lainnya. Inilah kompromi yang paling bagus.”

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa pada awal Dzulhijah tidak hanya dikhususkan untuk berpuasa, namun ini umum untuk amalan lainnya seperti qiyamul lail (shalat malam) dan memperbanyak dzikir yaitu bacaan tahlil, tahmid dan takbir. Ini menunjukkan keutamaan beramal pada awal bulan tersebut. (Inilah Faedah dari Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab)

Juga hendaklah kita yang gemar melakukan amalan sunnah (mustahab) dapat berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijah (puasa Arafah) karena keutamaan yang besar di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 2804).

Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)

Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat taufik Allah untuk beramal pada hari yang utama ini dengan selalu mengharapkan wajah-Nya dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya.

Diselesaikan di pagi hari yang penuh berkah, 27 Dzulqo’dah 1429 H di rumah tercinta Pangukan - Sleman.
Silakan disebarluaskan, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin lainnya.

Yang senantiasa mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya

Muhammad Abduh Tuasikal

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 10 November 2008

Ibadur Rahman

Segala puji bagi Alloh, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh. Amma ba’du.

Pembaca yang budiman, sesungguhnya Alloh memiliki hamba-hamba yang mulia di atas muka bumi ini. Jasad-jasad mereka ada di dunia akan tetapi cita-cita hati mereka tergantung di akhirat. Merekalah Ibadur-Rahman. Di dalam Al Quran Alloh memuji mereka, menerangkan ciri-cirinya agar orang-orang pun merasa tertarik dan bersemangat untuk meniru kebaikan mereka.

Alloh ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَانِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَاخَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا {63} وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا {64} وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا {65} إِنَّهَا سَآءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا {66} وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا {67} وَالَّذِينَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَيَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَيَزْنُونَ وَمَن يَّفْعَلْ ذَلِكَ يَلقَ أَثَامًا {68} يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا {69} إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {70} وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا {71} وَالَّذِينَ لاَيَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا {72} وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا {73} وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا {74} أُوْلَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَاصَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلاَمًا {75} خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا {76} قُلْ مَايَعْبَؤُا بِكُمْ رَبِّي لَوْلاَ دُعَآؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا {77}

63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (maksudnya orang-orang yang sembahyang tahajud di malam hari semata-mata Karena Alloh).

65. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.”

66. Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

68. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Alloh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya.

69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.

70. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

71. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya dia bertaubat kepada Alloh dengan Taubat yang sebenar-benarnya.

72. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

73. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.

74. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

75. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam surga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.

76. Mereka kekal di dalamnya. surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.

77. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh Telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu).” (QS. Al Furqon: 63-77)

Dua Macam ‘Ubudiyah

Di dalam ayat-ayat ini Alloh menyebutkan pujian kepada sebagian hamba-hambaNya. Akan tetapi tentu tidak semua hamba-Nya yang hidup di alam ini terpuji. Ada hamba yang taat dan ada yang bermaksiat. Untuk itu setiap insan harus mengetahui bahwa penghambaan atau ubudiyah yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sembarang ubudiyah.

Ubudiyah (penghambaan) itu ada dua macam:

(1) Ubudiyah kepada rububiyah-Nya.

(2) Ubudiyah kepada uluhiyah-Nya.

Rububiyah Alloh meliputi penciptaan, pengaturan dan penguasaan, menghidupkan dan mematikan, pemberian rezeki dan lain sebagainya. Sedangkan uluhiyah Alloh meliputi peribadatan yang ditujukan kepada-Nya, baik berupa sholat, puasa, menyembelih kurban, bernazar, berdoa, meminta perlindungan dan pertolongan, tawakal dan lain sebagainya.

Ubudiyah yang pertama (disebut juga ubudiyah ‘aammah/umum) meliputi seluruh makhluk yang ada; muslim dan kafir, orang baik dan orang jelek, semuanya menjadi hamba yang tunduk kepada Alloh, dipelihara dan diatur oleh-Nya. Seperti disebutkan dalam ayat,

إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS. Maryam: 93)

Sedangkan ubudiyah yang kedua (disebut juga ubudiyah khaashshah/khusus) yaitu ubudiyah kepada uluhiyah dan beribadah hanya kepada-Nya, yang menjadi bukti kasih sayang hakiki dari-Nya, itulah ubudiyah yang dimiliki oleh nabi-nabi serta wali-waliNya.

Ubudiyah yang kedua inilah yang dimaksud oleh ayat di atas. Oleh karena itulah di dalam ayat tersebut Alloh menyandarkan penghambaan itu kepada Nama-Nya Ar Rohman, sekaligus menjadi isyarat yang halus yang menunjukkan bahwasanya mereka semua itu bisa menggapainya hanyalah berkat rahmat dari-Nya.

Sifat Ibadur-Rahman

Alloh menyebutkan sifat-sifat mereka sebagai sifat-sifat yang paling sempurna dan paling utama. Alloh menyebutkan sifat-sifat hamba-hamba itu dengan:

Pertama: Orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.

Mereka adalah orang-orang yang meniti kehidupan ini dengan senantiasa tawadhu’ terhadap Alloh dan rendah hati kepada sesama makhluk, mereka berada dalam ketenangan dan memiliki kewibawaan, senantiasa tawadhu’ kepada Alloh dan kepada hamba-hambaNya. Dan apabila orang-orang pandir melontarkan kejahilannya kepada mereka, maka tidaklah hal itu membuat mereka membalas kebodohan dengan kebodohan atau dengan perbuatan dosa. Ini yang membuat mereka semakin terpuji, yaitu sikap lemah lembut dan santun, mereka membalas kejelekan dengan perbuatan ihsan dan kebaikan, bahkan memaafkan orang yang pandir atas kejahilannya, disertai ketabahan hati mereka yang mengagumkan sehingga dapat mengangkat mereka hingga mencapai kemuliaan akhlak semacam ini.

Kedua: Orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.

Mereka adalah orang-orang yang banyak mengerjakan sholat malam dan ikhlas dalam mengerjakannya demi Tuhan mereka serta senantiasa tunduk merendahkan diri kepada-Nya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh ta’ala di dalam ayat yang lain,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (maksudnya mereka tidak tidur di waktu Biasanya orang tidur untuk mengerjakan sholat malam) dan mereka selalu berdoa kepada Robbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezeki yang kami berikan. Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah: 16)

Ketiga: Orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami jauhkanlah azab Jahanam dari kami.”

Mereka adalah orang-orang yang berdoa kepada Alloh supaya dijauhkan dari sebab-sebab yang dapat menjerumuskan ke dalam neraka. Mereka juga senantiasa memohon ampun atas dosa yang pernah mereka lakukan, karena dosa-dosa itu jika tidak ditaubati maka akan menjebloskan dirinya ke dalam kungkungan azab. Padahal azab neraka sangatlah menakutkan, terus menerus menyertai dan menyiksa sebagaimana lilitan hutang menyiksa hati orang yang berhutang dan tidak sanggup melunasinya. “Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” Ini menunjukkan ketundukan dan perendahan hati mereka di hadapan Alloh ta’ala, serta menunjukkan betapa merasa butuhnya mereka kepada pertolongan Alloh. Karena mereka sadar kalau mereka itu tidak akan sanggup menahan pedihnya azab. Hal ini juga mengingatkan mereka akan karunia Alloh atas mereka, yaitu ketika kesulitan yang sangat berat dan mengguncangkan jiwa tersebut sirna maka hati mereka semakin bergembira dan berbunga-bunga setelah berhasil selamat dari kungkungan azab.

Keempat: Orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, tidak pula kikir.

Mereka adalah orang yang berinfak di jalan Alloh, baik infak yang hukumnya wajib atau sunnah. Infak yang wajib seperti zakat, membayar kafarah dan memberi nafkah anak dan istri. Mereka tidak melanggar batas dalam berinfak, tidak boros sehingga tidak melalaikan kewajiban infak yang lain. Tapi mereka tidak lantas menjadi bakhil atau kikir. Demikianlah infak mereka, berada di antara sikap boros dan kikir. Mereka membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang memang layak serta dengan cara yang layak pula, tidak mengundang bahaya untuk diri pribadi maupun orang lain, ini menunjukkan sikap adil dan seimbang yang mereka miliki.

Kelima: Orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Alloh.

Mereka adalah orang-orang yang hanya menyembah kepada Alloh saja, mengikhlaskan agama dan ketaatan untuk-Nya. Mereka tinggalkan segala bentuk kesyirikan dan cenderung kepada tauhid. Menghadapkan segenap jiwa dan raga mereka hanya kepada Alloh serta memalingkan ketergantungan hati dari segala sesuatu selain kepada-Nya.

Keenam: Orang yang tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar.

Jiwa yang haram dibunuh adalah jiwa seorang muslim dan jiwa orang kafir yang hidup di negeri muslim yang memiliki perjanjian keamanan dengan negeri orang kafir/kafir mu’ahad. Adapun membunuh yang diperbolehkan menurut syariat adalah membunuh pembunuh (qishash) membunuh penzina yang sudah memiliki suami/istri, serta membunuh orang kafir yang halal diperangi seperti ketika mereka menyerbu negeri muslim.

Ketujuh: Orang-orang yang tidak berzina.

Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri-istri atau budak-budak mereka. Kemudian Alloh menyebutkan, “Barangsiapa yang melakukan yang demikian itu” yaitu syirik, membunuh tanpa hak atau berzina “niscaya dia mendapat pembalasan dosanya.” Yakni akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal di dalam azab itu, dalam keadaan terhina, inilah ancaman sangat keras yang tertuju kepada siapa saja yang melakukan tiga perbuatan dosa itu, mereka kekal dalam kungkungan azab neraka. Karena syirik adalah dosa terbesar yang tidak mungkin diampuni oleh Alloh jika pelakunya meninggal dan belum bertaubat. Sedangkan bagi pembunuh dan penzina maka mereka menempati neraka dalam waktu yang sangat lama walaupun tidak kekal di dalamnya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan bahwasanya seluruh kaum mukminin kelak akan dikeluarkan dari neraka, tidak ada seorang mukmin pun yang kekal di dalamnya, meskipun dia pernah melakukan kemaksiatan seperti apapun.

Di dalam ayat ini Alloh menegaskan bahwa ketiga macam perbuatan itu adalah dosa-dosa terbesar. Dalam kesyirikan terkandung perusakan agama. Di dalam pembunuhan terkandung perusakan raga. Sedangkan di dalam perzinaan terkandung perusakan kehormatan dan harga diri umat manusia.

Kedelapan: Orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih.

Kemudian Alloh menyebutkan perkecualian, artinya orang-orang yang tidak akan tertimpa azab yang sangat pedih tersebut. Yaitu orang-orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan dosa-dosa yang lainnya, (1) Dia segera meninggalkan perbuatan itu dan (2) Menyesali dosa yang pernah dilakukannya itu, dan (3) Dia juga bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Selain itu (4) Dia juga beriman kepada Alloh dengan keimanan yang benar, yaitu keimanan yang menuntut dirinya untuk meninggalkan berbagai macam kemaksiatan dan menuntutnya untuk melaksanakan berbagai macam ketaatan. Selain itu (5) Dia juga beramal saleh; melakukan amal yang diperintahkan syariat dan mengikhlaskan niatnya dalam beramal hanya untuk mengharap keridhoan dan pahala melihat Wajah-Nya.

Kejahatan Mereka Akan Diganti Dengan Kebajikan

Kemudian Alloh berfirman yang artinya, “Maka kejahatan mereka diganti Alloh dengan kebajikan.” Inilah anugerah Alloh kepada hamba-hambaNya. Perbuatan dan perkataan-perkataan mereka yang semula dilakukan untuk berbuat kejelekan dan kejahatan Alloh gantikan dengan berbagai macam kebaikan. Alloh mengganti kesyirikan mereka dengan keimanan, kemudian Alloh mengganti setiap kemaksiatan mereka dengan ketaatan, dan Alloh mengganti berbagai kejelekan yang pernah mereka lakukan itu semua, Alloh karuniakan taubat, inabah dan ketaatan sebagai penggantinya. Tentang makna ini, terdapat sebuah hadits yang mengisahkan seorang yang sedang dihisab oleh Alloh karena sebagian dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Maka disebutkanlah satu persatu dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian Alloh menukar setiap kejelekannya dengan sebuah kebaikan. Maka hamba itu berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya hamba mempunyai dosa-dosa yang tidak terdapat dalam catatan-catatan di sini.” Wallohu a’lam.

Sesungguhnya Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang. Alloh mengampuni hamba-hamba yang bertaubat, sebesar apapun dosa yang dilakukannya. Alloh Maha penyayang, buktinya Alloh menyeru mereka untuk segera bertaubat setelah berbuat dosa, kemudian Alloh juga memberikan taufik kepada mereka untuk benar-benar bertaubat, kemudian Alloh menerima taubat hamba-Nya. Sungguh besar kasih sayang Alloh kepada hamba-hambaNya.

Kemudian Alloh berfirman yang artinya, “Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Alloh dengan taubat yang sebenar-benarnya.” Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya taubat seorang hamba akan membawanya meraih puncak kesempurnaan. Karena taubat itulah jalan kembali yang akan mengantarkannya kepada Alloh, inilah hakikat kebahagiaan hamba dan keberuntungannya. Maka hendaklah dia mengikhlaskan taubatnya serta membersihkan niatnya dari berbagai tujuan yang rusak. Maksud yang tersimpan di ayat ini adalah dorongan supaya hamba menyempurnakan taubatnya.

Kesembilan: Orang-orang yang tidak mendatangi az-Zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan al-Laghwu (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah), mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.

Orang-orang yang tidak mendatangi Az Zuur. Az Zuur yaitu: perkataan dan perbuatan yang diharamkan. Maka mereka menjauhi semua pertemuan yang di dalamnya terdapat perkataan atau perbuatan yang diharamkan, seperti perbincangan dalam memperolok ayat-ayat Alloh, perdebatan yang batil, menggunjing, mengadu domba, mencela, menuduh zina tanpa bukti, mengejek syariat Alloh, nyanyian yang haram, meminum khamar, menggunakan sutera, gambar-gambar bernyawa, dan lain sebagainya. Apabila mereka tidak menghadiri Az Zuur, maka apalagi mengatakan atau melakukannya mereka lebih tidak mau lagi. Dan persaksian palsu termasuk perbuatan yang pertama kali dikategorikan dalam cakupan Az Zuur.

“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah/al laghwu.” Al Laghwu adalah perkataan yang tidak mengandung kebaikan, baik manfaat diniyah maupun manfaat duniawiah.

Seperti perkataan orang-orang pandir dan semacamnya. “Mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” Mereka membersihkan dan memuliakan diri mereka dengan tidak ikut campur dalam pembicaraan itu. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi itu termasuk sikap bodoh menurut pandangan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu. Di dalam firman Alloh, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengarkan perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.

Kesepuluh: Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.

Mereka adalah orang-orang yang tidak berpaling dari peringatan itu, tidak menutup telinga dari mendengarkannya, tidak menutup mata dan hatinya dari memahami peringatan itu sebagaimana perbuatan semacam ini dilakukan oleh orang yang tidak mengimani peringatan itu dan tidak mau membenarkannya. Apabila mereka mendengar peringatan itu mereka bersikap sebagaimana yang difirmankan Alloh,

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّداً وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud [maksudnya mereka sujud kepada Alloh serta khusyuk] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS. As Sajdah: 15)

Mereka menerima peringatan-peringatan itu dengan sepenuhnya dengan disertai perasaan sangat membutuhkannya, tunduk serta pasrah terhadapnya. Anda temukan mereka itu memiliki telinga yang sangat terbuka, hati-hati yang sangat sadar yang dengan begitu maka semakin bertambahlah iman mereka serta semakin sempurna pula keyakinan mereka. Karena peringatan itu tumbuhlah semangat mereka, mereka sangat senang dan bergembira mendengarnya.

Kesebelas: Orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Apabila kita mencermati keadaan dan sifat mereka ini maka kita bisa mengetahui ketinggian cita-cita dan kedudukan mereka, sehingga mereka tidaklah merasa tenteram sampai anak-anak mereka mau taat dan patuh kepada Rabb mereka serta berilmu dan mengamalkan ilmunya. Meskipun doa ini ditujukannya untuk kebaikan istri dan anak keturunannya tetapi sesungguhnya itu adalah doa untuk dirinya sendiri. Karena manfaat doa itu akhirnya juga akan kembali kepadanya. Oleh karenanya di dalam doa itu mereka menyebut hal itu sebagai anugerah bagi mereka. Bahkan manfaat do’a mereka juga kembali kepada keseluruhan kaum muslimin. Karena kebaikan isteri dan anak-anak akan menimbulkan kebaikan orang-orang yang berhubungan dan menimba faedah dari mereka.

Mereka berdoa, “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Artinya mereka memohon supaya bisa meraih derajat yang tinggi ini, yaitu derajatnya kaum shiddiqiin dan derajat kesempurnaan yang dimiliki oleh hamba-hamba yang saleh, itulah derajat kepemimpinan dalam agama. Mereka memohon supaya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, sehingga perbuatan mereka layak ditiru dan perkataan mereka menenangkan. Sehingga para pelaku kebaikan berjalan mengikuti mereka, mereka mendapat hidayah dan juga menyebarkannya.

Doa untuk mendapatkan sesuatu berarti juga mencakup permintaan segala sesuatu yang menjadi syarat terpenuhinya. Sedangkan derajat kepemimpinan di dalam agama ini tidak akan bisa tercapai kecuali dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh ta’ala,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Konsekuensi do’a mereka itu adalah:

  1. Beramal saleh.
  2. Sabar dalam melakukan ketaatan kepada Alloh.
  3. Sabar dari melakukan kemaksiatan kepada Alloh.
  4. Sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan.
  5. Ilmu yang sempurna, yaitu ilmu yang membuahkan keyakinan.
  6. Mengandung permintaan tercapainya kebaikan yang banyak dan pemberian yang melimpah.
  7. Juga mengandung permintaan agar mereka bisa menempati derajat makhluk setinggi. mungkin di bawah tingkatan para Rasul.

Balasan Bagi Ibadur-Rahman

Oleh karena cita-cita dan tuntutan mereka yang sangat tinggi ini maka balasan yang akan diberikan pun sesuai dengan jenis dan kualitas amalan yang dikerjakan. Maka Alloh membalas mereka dengan kedudukan yang tinggi, dengan firman-Nya, “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka.” Artinya mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi, tempat tinggal yang bagus yang mengumpulkan berbagai perkara yang sedap dipandang mata. Kenikmatan itu mereka peroleh dengan sebab kesabaran. Mereka berhasil mencapai apa yang mereka idam-idamkan. Sebagaimana firman Alloh ta’ala,

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“(yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’ (Keselamatan atas kalian dengan sebab kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d: 23-24)

Oleh karenanya di dalam ayat ini Alloh berfirman, “Mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat” dari Robb mereka, juga dari para malaikat-Nya yang mulia, bahkan mereka juga saling mengucapkan selamat satu dengan yang lainnya, mereka terbebas dari segala bentuk cela dan kesusahan.

Ciri-Ciri Ibadur-Rahman

Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Alloh menyifati Ibadur-Rahman sebagai orang-orang yang:

  1. Memiliki ketenangan dan kewibawaan.
  2. Tawadhu’ kepada-Nya dan kepada hamba-hambaNya.
  3. Memiliki adab yang bagus.
  4. Santun dan lemah lembut.
  5. Berakhlak luhur, memaafkan orang-orang jahil dan berpaling dari kebodohan mereka.
  6. Membalas perbuatan buruk dengan ihsan dan kebaikan.
  7. Menegakkan sholat malam.
  8. Ikhlas dalam sholatnya itu (dan juga dalam ibadah lainnya).
  9. Merasa takut masuk neraka, merendahkan dan menundukkan diri kepada Robbnya supaya mereka diselamatkan dari neraka.
  10. Mengeluarkan nafkah yang wajib maupun yang mustahab, mereka bersikap tengah-tengah di dalam berinfak, tidak meremehkan dan juga tidak melampaui batas, begitu pula dalam permasalahan yang lainnya mereka juga bersikap pertengahan/adil.
  11. Mereka selamat dari dosa-dosa besar dan senantiasa ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, menjaga diri dari menumpahkan harta dan merusak kehormatan/harga diri manusia.
  12. Mereka bertaubat jika terjatuh dalam dosa-dosa besar itu.
  13. Tidak mendatangi pertemuan yang berisi kemungkaran dan kefasikan baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, dan mereka sendiri juga tidak melakukan keburukan itu.
  14. Mereka membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak ada faedahnya serta berbagai perbuatan rendah yang tidak mengandung kebaikan sama sekali, hal itu membuahkan terpeliharanya kehormatan diri, kemanusiaan dan kesempurnaan mereka, serta mengangkat diri mereka dari terjerumus dalam segala bentuk ucapan dan perbuatan rendah.
  15. Mereka menerima ayat-ayat Alloh dengan sepenuhnya, mereka berusaha memahami makna-maknanya, mengamalkan isinya, bersungguh-sungguh dalam upaya menerapkan hukum-hukumnya.
  16. Mereka berdoa kepada Alloh dengan doa sesempurna mungkin, dalam bentuk doa yang manfaatnya kembali kepada diri mereka sendiri dan juga bagi orang-orang yang bersangkutan dengan mereka, dan supaya kaum muslimin bisa memetik faedah dengan terkabulnya doa tersebut, doa itu berisi agar istri-istri dan anak-anak keturunan mereka menjadi baik.

Konsekuensi dari doa yang dipanjatkan ini maka dia juga harus mengajarkan ilmu kepada mereka, menasihati dan menghendaki kebaikan untuk mereka, karena barang siapa yang bersemangat untuk mencapai sesuatu dan berdoa kepada Alloh untuk bisa mendapatkannya maka dia juga harus menempuh sebab-sebabnya. Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Alloh untuk bisa meraih derajat tertinggi yang mungkin mereka dapatkan yaitu derajat imamah (kepemimpinan) dan shiddiqiyyah (keteguhan dan kebenaran).

Demi Alloh, betapa luhur sifat-sifat mereka, sungguh tinggi cita-cita mereka, alangkah mulia tuntutan-tuntutan mereka, alangkah sucinya jiwa-jiwa orang semacam itu, betapa bersihnya hati orang-orang itu, betapa bersih orang-orang suci pilihan itu dan betapa bertakwanya tuan-tuan itu!!!

Demi Alloh, betapa besar keutamaan dan nikmat yang dikaruniakan Alloh kepada mereka, begitu pula rahmat yang semakin menambah kemuliaan mereka, betapa halus kelemahlembutan-Nya yang telah mengangkat mereka menuju martabat yang mulia ini.

Demi Alloh, betapa agung karunia Alloh kepada hamba-hambaNya, Alloh menjelaskan sifat-sifat mereka, menyebutkan ciri-ciri mereka, Alloh menerangkan cita-cita mereka dan Alloh juga menjelaskan pahala yang akan mereka terima supaya mereka berhasrat untuk bisa memiliki sifat-sifat tersebut, dan supaya mereka mengerahkan kesungguhannya untuk meraih sifat-sifat tersebut dan dalam rangka mendorong mereka agar mengerahkan segala kesungguhan mereka dalam hal itu. Alloh memerintahkan supaya mereka memohon karunia kepada Zat yang bisa menganugerahkan sifat-sifat itu, Zat yang memuliakan mereka, Zat yang senantiasa memiliki keutamaan di setiap zaman dan di setiap tempat, dalam waktu dan situasi apapun, maka mereka pun memohon hidayah taufik (untuk bisa beramal) kepada Alloh sebagaimana Alloh telah memberi mereka hidayah Irsyad (untuk berilmu), mereka memohon Alloh memelihara dan membimbing mereka dengan tarbiyah khusus-Nya sebagaimana Alloh telah memelihara dan membimbing mereka dengan tarbiyah umum-Nya,

Allohumma, ya Alloh hanya bagi-Mu seluruh pujian, kepada-Mu tempat mengadu, Engkaulah Zat yang layak dimintai pertolongan dan keselamatan, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu, Kami tidak sanggup menguasai sedikit pun manfaat atau bahaya bagi diri kami sendiri, kami tidak menguasai sekecil apapun kebaikan jika Engkau tidak berikan kemudahan kepada kami untuknya, sesungguhnya kami-kami ini lemah dan tidak mampu dari segala sisi.

Kami bersaksi seandainya Engkau membiarkan kami bersandar kepada diri-diri kami sendiri sekejap mata saja maka itu berarti Engkau telah membiarkan kami bersandar kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesalahan. Maka dengan demikian wahai Robb kami, sesungguhnya kami ini tidak percaya sepenuhnya kecuali kepada rahmat-Mu yang karena rahmat itulah Engkau menciptakan dan memberikan rezeki kami, dengan rahmat itu pula Engkau karuniakan nikmat kepada kami; nikmat lahir maupun batin, dan karena rahmat-Mu lah Engkau memalingkan berbagai bencana yang seharusnya menimpa kami, maka limpahkanlah kepada kami rahmat yang membuat kami cukup dan tidak membutuhkan lagi selain rahmat-Mu, niscaya tidak ada seorang pun yang rugi apabila meminta dan berharap kepada-Mu.

Tidak Ada Artinya Hidup Tanpa Ibadah

Kemudian Alloh ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak peduli dan tidak mengindahkan kepada selain orang-orang yang memperoleh rahmat tersebut. Seandainya bukan karena ibadah (doa ibadah) dan permintaan (doa mas’alah) yang kalian panjatkan kepada-Nya niscaya Dia tidak akan memperdulikan dan mencintai kalian, Alloh nyatakan, “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): Tuhanku tidak mengindahkan Kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu).” Inilah balasan bagi orang-orang yang tidak mau tunduk beribadah kepada-Nya.

Artinya azab Alloh itu akan terus menerus menyiksamu ibarat siksaan berkepanjangan yang dirasakan oleh orang yang dililit hutang dan tidak sanggup melunasinya, dan kelak Alloh akan memberikan keputusan antara kamu dengan hamba-hambaNya yang beriman.

(Disarikan dari Taisir al-Karim ar-Rahman dengan sedikit tambahan keterangan, Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh, cetakan Mu’assasah ar-Risalah, hal. 586-588)

Jangan Sia-Siakan Kesempatan !!!

Syaikh as-Sa’di rohimahulloh berkata: Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah yaitu barang siapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya, padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya, maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barang siapa meninggalkan ibadah kepada Ar Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barang siapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Alloh maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Alloh, dan takut karenanya.

Barang siapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Alloh niscaya dia akan menginfakkannya dalam menaati syaitan. Barang siapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Robbnya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barang siapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan (Tafsir surat Al Baqoroh ayat 101-103, Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).

Mari Menghadap Alloh Dengan Qalbu yang Saliim

Saudara-saudaraku sekalian, marilah kita bersihkan hati-hati kita dari dosa-dosa dan kesyirikan. Karena di hari kiamat nanti tidak akan bermanfaat lagi banyaknya harta dan keturunan. Berapa pun harta yang anda punya, emas sebesar gunung atau bahkan sepenuh bumi sekalipun, itu semua tidak ada artinya jika anda berjumpa dengan-Nya tanpa hati yang bersih. Begitu pula tidak ada artinya banyaknya anak cucu, walaupun mereka itu memiliki kedudukan dan jabatan-jabatan tertinggi di atas muka bumi, bila anda tidak menghadap-Nya dengan hati yang suci. Alloh Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, kecuali orang yang menghadap Alloh dengan hati yang selamat.” (QS. Asa Syu’araa’: 88-89)

Imam Ibnu Katsir berkata: (hati yang selamat) artinya selamat dari dosa dan kesyirikan. Sa’id bin Al Musayyib mengatakan: hati yang selamat adalah hatinya orang beriman, karena hati orang kafir dan munafiq itu sakit… Abu ‘Utsman an-Naisaburi mengatakan: (hati yang selamat) adalah hati yang bersih dari bid’ah dan merasa tentram dengan as-Sunnah (Tafsir Ibnu Katsir, III/48).

Allohumma innii zhalamtu nafsi zhulman katsiiran wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfirlii maghfiratan min ‘indik, warhamni, innaka antal Ghafuurur Rahim. (HR. Bukhari-Muslim, Ad Du’a minal Kitab wa Sunnah hal. 46).

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Masuk Surga Tanpa Hisab

Orang yang masuk surga ada 3 macam, yaitu: Langsung masuk surga tanpa hisab (dihitung kebaikan dan keburukannya), masuk surga setelah dihisab, dan masuk surga setelah diadzab terlebih dahulu di neraka. Tentunya semua orang akan mengidam-idamkan masuk surga tanpa harus masuk neraka. Tapi bagaimana caranya? Mungkin ini adalah pertanyaan yang terlintas di benak setiap orang secara spontan begitu membaca judul ini.

Sempurnakan Tauhid !

Agar masuk surga tanpa hisab, syarat yang harus dipenuhi adalah membersihkan tauhid dari noda-noda syirik, bid’ah, dan maksiat. Alloh berfirman, “Sesungguhnya Ibrohim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Alloh dan hanif (lurus). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb).” (An Nahl: 120). Dalam ayat ini, Alloh memuji nabi Ibrohim dengan menyebutkan empat sifat, yang apabila keempat sifat ini ada pada diri seorang insan, maka ia berhak mendapatkan balasan yang tertinggi, yaitu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Mencontoh Para Nabi Dalam Bertauhid

Di dalam Al Qur’an Alloh memberikan uswah (teladan) kepada kita pada dua sosok manusia yaitu Nabi Ibrohim dan Nabi Muhammad ‘alaihimashsholaatu was salaam. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Alloh, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja’.” (Al Mumtahanah: 4)

Perhatikanlah, Ibrohim ‘alaihis salam menjadi teladan dengan memurnikan tauhid dengan cara berlepas diri dari kesyirikan. Dalam ayat selanjutnya, Alloh berfirman, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrohim dan umatnya) ada teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Alloh dan (keselamatan pada) hari kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6). Tidak diragukan lagi, balasan yang paling besar dan keselamatan yang dimaksud adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Itulah keselamatan yang hakiki yang dinanti oleh setiap jiwa yang pasti akan merasakan mati.

Alloh juga berfirman tentang Nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (Al Ahzab: 21). Nabi Muhammad adalah orang yang paling paham tentang tauhid, maka orang yang hendak mempraktekkan tauhid dalam dirinya harus mencontoh ajaran beliau. Ya Alloh, masukkanlah kami dalam golongan orang yang mengharap rahmat-Mu dan banyak menyebut-Mu.

Patuh Terhadap Perintah Alloh

Nabi Ibrohim adalah seorang yang sangat patuh kepada Alloh, teguh dalam ketaatannya dan senantiasa berada dalam ketundukannya, apapun keadaannya. Buktinya ketika beliau diuji dengan perintah untuk menyembelih putra kesayangannya, beliau pun tetap patuh melaksanakannya (Qoulul Mufid karya Syaikh Al Utsaimin). Begitu juga keturunannya, pemimpin para Nabi, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, hamba Alloh yang paling taat. Alloh berfirman, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya?” (Az Zumar: 9)

Keluar dari Kegelapan Syirik Menuju Cahaya Tauhid

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hanif adalah menujukan ibadah hanya kepada Alloh (tauhid) dan berpaling dari peribadatan kepada selain-Nya (syirik).” (Fathul Majid). Inilah sifat orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yakni betul-betul menjaga kemurnian tauhidnya dengan berpaling sejauh-jauhnya dari kesyirikan dengan segala macam pernak-perniknya. Mujahid berkata, “Nabi Ibrohim adalah seorang imam walaupun beliau beriman seorang diri di tengah kaumnya yang kafir.” (Tafsir Ibnu Katsir, An Nahl: 120). Maksudnya beliau adalah sosok yang selamat dari kesyirikan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan.” (Al Jadid karya syaikh Al Qor’awi). Maka untuk memurnikan tauhid, kita harus berpaling dari syirik dan pelakunya.

Tawakkal Kepada Alloh, Itu Kuncinya

Mari kita simak sabda Nabi yang paling kita cintai dan sangat mencintai umatnya, Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam tentang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Beliau bersabda, “Beberapa umat ditampakkan kepadaku, lalu kulihat seorang nabi bersama beberapa orang, ada seorang nabi bersama satu atau dua orang, dan ada seorang nabi yang tidak disertai siapapun. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku satu golongan dalam jumlah yang amat banyak, sehingga aku mengira mereka adalah umatku. Maka ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Ini adalah Musa dan kaumnya.’ Aku melihat lagi, ternyata di sana ada jumlah yang lebih banyak lagi. Ada yang memberitahukan kepadaku, ‘Itulah umatmu, tujuh puluh ribu orang di antara mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab.’ Kemudian beliau bangkit dan masuk rumah. Maka orang-orang berkumpul bersama orang-orang yang sudah berkumpul. Sebagian mereka mengatakan, ‘Barangkali mereka adalah para sahabat Rosululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam.’ Sebagian yang lain mengatakan, ‘Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak menyekutukan sesuatu pun beserta Alloh.’ Mereka pun mengatakan banyak hal. Lalu Rosululloh shalAllohu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka dan mereka memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta untuk (berobat dengan cara) disundut dengan api, dan tidak melakukan tathayyur, serta mereka bertawakal kepada Alloh.’ Lalu ‘Ukkasyah bin Mihshon berdiri dan berkata, ‘Berdo’alah kepada Alloh agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian ada orang lain berdiri dan berkata, ‘Berdo’alah kepada Alloh agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau sudah didahului ‘Ukasyah.’” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

Di antara pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah bahwa tidak meminta ruqyah, tidak berobat dengan cara disundut dengan besi panas (kayy), dan tidak menganggap akan mengalami kesialan setelah mendengar atau melihat sesuatu (tathoyyur) merupakan wujud dan realisasi dari tawakkal kepada Alloh. Karena itulah Rosululloh menganjurkan kepada umatnya agar tidak melakukan ketiga hal tersebut, karena pengaruh ruqyah dan kayy yang sangat kuat sehingga dikhawatirkan seorang hamba menggantungkan harapan kesembuhannya kepada cara pengobatan tersebut dan bukannya bersandar kepada Alloh. Khusus untuk tathoyyur maka hukumnya tidak diperbolehkan. Kesimpulannya, keadaan orang yang akan masuk surga sangat tergantung dari kadar tawakkal setiap orang, semakin tinggi tingkat tawakkalnya semakin tinggi pula tingkat kesempurnaan tauhidnya. Allohlah tempat kita bersandar dan menyerahkan urusan. Wallohu a’lam.

(Disarikan dari kajian Kitab Tauhid bersama Al Ustadz Abu Isa -hafizhohullah-)

***

Penulis: Nurdin Abu Yazid
Artikel www.muslim.or.id

10 Nasihat Ibnul Qayyim

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

***

Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com

Alih Bahasa: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Adab Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Artikel www.muslim.or.id